Sejarah Desa Candiroto
Desa Candiroto adalah sebuah desa yang berada di jantung ibukota Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung. Desa Candiroto tumbuh bersama dinamika perubahan zaman dan muncul menjadi bagian dari Karisidenan Kedu. Keberadaan jalan provinsi yang menghubungkan antara Kabupaten Kendal dengan ibukota Kabupaten Temanggung membuat Candiroto selalu muncul disetiap pembuatan peta Jawa. Candiroto sendiri memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya hingga bisa menjadi sebuah desa yang seperti sekarang ini.
Potongan Peta Belanda tahun 1907
Bila kembali menilik kebelakang, sekitar tahun 80-90an, Kecamatan Candiroto adalah Kecamatan paling utara di Kabupaten Temanggung, sebelum adanya pemekaran dengan berdirinya Kecamatan Bejen. Dan bila ditarik mundur jauh kebelakang lagi, Candiroto adalah ibukota kawedanan atau afdeling Candiroto, yang meliputi seluruh wilayah diutara Karisidenan Kedu.
Sejarah Desa Candiroto tidak lepas dari sejarah keberadaan jalan propinsi yang membelah desa, pasar desa yang berkembang bersamaan dengan perkembangan perkebunan di kawasan yang kini menjadi PTPN IX dan tentu saja sejarah keberadaan kawedanan atau kalau dalam istilah Belanda adalah afdeling Tjandiroto atau Candiroto.
Bila dirunut, Kawedanan Candiroto dapat diambil dari sejarah keberadaan surat Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 13 Juni 1901, karisidenan Kedu digabung dengan karisidenan Bagelen dan Kabupaten Temanggung dibagi dalam 3 distrik yaitu Temanggung, Parakan, dan Tjandiroto (Toponim Kota Magelang, 2018). Namun dusun-dusun yang menyokong Desa Candiroto dan Desa Candiroto sendiri sejarahnya tentu lebih tua daripada surat dari Gubernur Jenderal tersebut.
Pada era Demak, cikal bakal pedesaan di wilayah Kecamatan Candiroto adalah Desa Lempuyang dengan adanya figur tokoh Ki Ageng Lempuyang kemudian berpindah ke timur dengan adanya tokoh Ki Ageng Manguneng I, Ki Ageng Manguneng II dan kemudian digantikan Ki Ageng Muneng karena Ki Ageng Lempuyang tidak memiliki penerus laki-laki (KRT Yudodiprojo, 1995).
Namun, dalam versi lain, dalam Babad Lasem diceritakan bahwa Candiroto adalah perkampungan kuno yang tumbuh dan menghilang bersamaan dengan rute kapal-kapal pengangkut welirang (belerang) yang dari Dieng ke Pelabuhan Kaliwungu kuno. Kejadian itu berlangsung diera Mataram kuno, ditilik dari pesebaran dusun-dusun tua Candiroto yang berada disebelah kanan-kiri aliran Kali Lutut purba.
Kembali ke zaman Mataram Islam, sekitar tahun 1680 setelah Amangkurat II secara defacto menjadi raja dan mendirikan Ibukotanya di Kartasura. Candiroto sendiri adalah bagian dari wilayah Negaragung Kedu pada zaman Amangkurat II yang dibagi 2 menjadi Negaragung Bumi (untuk wilayah Timur Kali Progo, wilayah Kabupaten Temanggung sekarang) dan Negaragung Bumijo (wilayah di Barat Kali Progo, wilayah Kabupaten dan Kotamadya Magelang sekarang).
Tak banyak catatan yang ditemukan tentang keberadaan Candiroto awal. justru yang muncul dalam catatan dan kronik mengenai desa atau dukuh di Kabupaten Temanggung sekarang adalah tentang istilah Kedhu Siwur (wilayah eks Kawedanan Parakan) dan Kedhu Payung (untuk wilayah eks Kawedanan Candiroto). Candiroto muncul diera pasca perang Diponegoro.
Latar Belakang Sejarah
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Deandels jalan yang menghubungkan antara gupernemen Batavia lalu gupernemen Semarang hingga gupernemen Surabaya (Jalan pos Anyer Panarukan), yang juga merupakan jalan untuk mempertahankan Jawa dari serangan kekuatan Inggris dengan membuat garis mobilisasi yang menghubungkan wilayah antar gupernemen di wilayah pantai utara, dibangun pada tahun 1808.
Ditambah pada tahun 1810 Deandels menyerang ibukota Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka wilayah Kedu, baik Bumi maupun Bumijo secara keseluruhan masuk dalam wilayah gupernemen. Apalagi sejak Raffles menaklukkan kembali kedua kerajaan itu, Kedu secara utuh menjadi bagian dari tanah dibawah kolonial atau bagian dari gupernemen pada tahun 1813. Kedu menjadi wilayah dibawah Karisidenan Pekalongan (Toponim Kota Magelang, 2018).
Menurut buku Beschrijving der Nederlandsche Bezittingen in Oost-Indie (1851), Kadoe atau Kedu sudah merupakan Residen tersendiri dengan 2 regentschappen (kabupaten) yaitu Magelang dan Temanggung, Temanggung dibagi dalam 5 distrik: Djetis, Lempoejang (Lempuyang), Temanggung, Prapak dan Soemowono. Jadi sejak masuk dalam gupernemen, wilayah Candiroto masuk dalam distrik Lempuyang, Baru di era penggabungan Bagelen dengan Karisidenan Kedu, Candiroto menjadi ibukota Distrik Tjandiroto. Pergeseran ibukota distrik dari Lempuyang ke Candiroto setelah era perang Diponegoro. Perang Diponegoro merubah banyak pesebaran dan peta wilayah.
Mula-mula jalan penghubung adalah jalan yang menghubungkan wilayah Kabupaten Menoreh ke pusat karisidenan di Pekalongan, dari tahun 1813 hingga pertengahan tahun 1817, itupun hanya jalan setapak yang melewati rute jalan kuno. Jalan ini kemungkinan adalah jalan penghubung antara wilayah Distrik Pekalongan dan Distrik Batang dengan distrik Kedu.
Peta 1867, pasca Dipanegaran dan Distrik Lempuyang berubah menjadi distrik Candiroto
Di era berikutnya, dampak eksploitasi Kultuurstelsel (1830-1870) dan politik liberalisasi pada tahun-tahun berikutnya, daerah yang subur di wilayah hutan Timur Candiroto banyak dibangun perkebunan swasta orang Eropa. Untuk menunjang memudahkan mobilisasi angkutan barang dari wilayah perkebunan maka sebuah jalan dibangun. Sekaligus berfungsi untuk menghubungkan Karisidenan Semarang (Kabupaten Kendal) dengan pusat Karisidenan Kedu (Kabupaten Magelang).
Latar Belakang Wilayah
Peta Dusun Candiroto
Di sekitar 1830an, Candiroto tumbuh menjadi pusat pemukiman yang lebih ramai dan padat daripada Lempuyang yang ibukota distrik. Dengan wilayah yang datar, berada dilembah Gunung Payung dan perbukitan yang mengelilinginya, Candiroto menjadi tempat transit dan istirahat para kuli pengangkut dari perkebunan-perkebunan, sebelum diangkut dengan gerobak atau dipikul ke pusat kota.
Foto : arca-arca di Lingkungan Puskesmas Candiroto
Menurut sumber cerita tutur dimasyarakat nama Candiroto dikaitkan dengan keberadaan arca-arca yang kini ada di lingkungan Puskesmas Candiroto (Lingkungan Puskesmas Candirototo dulu merupakan Kantor Kawedanan Candiroto). Bahkan ada yang memastikan bahwa Candiroto pada era kuno adalah komplek candi yang kemudian rata dengan tanah. Namun ada juga pendapat yang lebih mendekati yaitu adanya beberapa peninggalan artefak seperti balok batu yang berukir dan ada yang menyebutkan jika artefak tersebut memiliki tulisan seperti prasasti disebelah selatan Dusun Krajan, ditengah kebun kopi. Dari bentuk batu yang rata (walau ada ukirannya) tersebut kemungkinan nama Candiroto bermula. Artefak tersebut kemungkinan hilang pada tahun 1990-an..
Beberapa Desa yang dulu tumbuh untuk menyokong keberadaan ibukota Distrik Lempuyang melebur ke Candiroto. Kemungkinan banjir bandang Kali Lutut kuno yang membelah Candiroto dengan Desa Lempuyang di era banjir bandang akibat meletusnya Gunung Sindoro pada tahun 1882 yang terkenal dengan peristiwa “ladu klesem”. Konon ladu ini membawa para korbanya hingga sampai di sungai terbesar di Kab. Kendal yang merupakan sungai terusan menuju Kali Bodri dan bermuara sampai ke laut Utara. Kemungkinan yang lain adalah banjir bandang akibat penebangan besar-besaran (tanam paksa atau Kultuurstetsel). Peristiwa banjir bandang ini menyebabkan menghilangnya salah satu pemukiman yang disebut Ngasinan atau Sekemprung. Penduduknya berpindah ke Candiroto atau Tempuran (Desa Lempuyang).
Dusun Gondang atau Gondangan dulu merupakan salah satu desa cikal bakal yang ada sebelum ada dusun lain di Candiroto. Dusun ini kemungkinan ada ketika masih di jaman Distrik atau jaman Kademangan Lempuyang. Penamaan Gondang atau dalam sumber lama bernama Gondangan, kemungkinan berasal dari keberadaan sebuah pohon Gondang yang oleh orang-orang dulu diambil getahnya untuk lilin.
Pemukiman tua disebelah Selatannya, Kedanon, juga sempat dipimpin oleh seorang lurah gladak (Penatus). Istilah gladak (Penatus) kemungkinan mengacu pada jabatan yang berhubungan dengan pengarep atau pemimpin para lurah. Sisa-sisa keberadaan pemukiman dan pekuburan Kedanon kini menjadi lahan perkebunan kopi. Cerita mengenai Kedanon ini masih sering dibicarakan oleh kalangan tua di Dusun Gondang.
Peta Denah Kawedanan Candiroto (Pesanggrahan)
Dusun Kauman keberadaanya mengikuti bentuk yang mengikuti Filosofi Macapat. Sistem Macapat adalah tata kota yang ditinggalkan Wali Songo, Yakni pusat kerajaan, yang biasanya terletak di alun-alun atau lapangan berbentuk segi empat (papat). Alun-alun sebagai tempat berkumpulnya rakyat, yang dikelilingi oleh pusat pemerintahan, tempat ibadah, pasar dan penjara. Lokasi-lokasi penting itu diatur sesuai dengan empat penjuru mata angin. Tata letak Komplek Kawedanan Candiroto tersebut adalah adanya kompleks kawedanan Candiroto (yang saat ini beralih fungsi sebagai Gedung Puskesmas, SDN1, Kantor Kecamatan Candiroto), alun-alun yang kini telah beralih fungsi separuhnya menjadi Terminal Candiroto, dan masjid yang berada di Dusun Kauman. Di tahun 50-an, dulu alun-alun Candiroto ketika masih ada dikelilingi deretan pohon Manggis. Sisa pohon Manggis tersebut masih ada di depan Damkar Candiroto sekarang. Pasar Candiroto-pun ada dalam perkembangannya. Berderet dari sepanjang jalan menuju ke areal Masjid. Menurut para sesepuh, pasar Candiroto dulu digelar pada setiap hari pasaran Pon dibawah pepohonan Cemara didepan Masjid.
Dusun Krajan atau dulu disebut Sedayu, adalah dusun yang berada disebalah Timur areal alun-alun. Nama Sedayu sendiri bila dihubungkan dengan nama sebuah desa yang hilang wilayah Desa Gunungpayung maka bisa dimungkinkan dahulu disitu adalah pemukiman orang-orang yang berasal dari desa yang hilang atau pindah tersebut. Namun bisa jadi penamaan Sedayu dahulu berhubungan dengan nama pemimpin pemukiman di Krajan yang berasal dari keturunan Pangeran Sedayu alias Empu Joko Supo, seorang Empu di era Majapahit. Disebelah Selatan Dusun Krajan atau Sedayu ada areal persawahan yang bernama Bulusan. Bulusan kini masuk dalam lingkup Dusun Krajan. Penamaan Bulusan karena adanya sebuah arca kura-kura ditempat tersebut.
Sementara itu Dusun Dotakan dipercayai adalah rumah salah satu pejabat Distrik atau Kademangan Candiroto yaitu Kyai Udantaka. Sehingga disebut Udantaka-an dan lidah orang Jawa kemudian menyebut Dotakan. Dotakan sendiri kemungkinan awal mulanya dihuni oleh sanak family Kyai Udantaka dan para pengikutnya. Kyai Udantaka dimakamkan dilingkungan kawedanan Candiroto, sekarang di depan rumah dinas SD Negeri 1 Candiroto.
Tak banyak catatan dan cerita yang bisa digali tentang keberadaan Baturan. Hanya cerita tutur dari orang-orang tua bahwa Baturan adalah tempat salah satu pengikut Raden Trenggono (Muneng) makanya disebut Baturan (tempat pembantu), itupun belum bisa dibuktikan karena makna Baturan sendiri bisa diartikan adalah perumahan atau pekarangan.
Foto makam Kyai Udantaka
Pada era 1900-an awal, dengan dibuatnya jalan propinsi (Jalan Raya Parakan-Sukorejo), maka dibangunlah Jembatan yang menghubungkan Candiroto dengan daerah di Utara-nya. Jembatan Winong inilah yang menjadi cikal bakal keberadaan Dusun Winong. Kemungkinan pembangunan yang berlangsung selama beberapa tahun menyebabkan munculnya pemukiman.
Foto Gapura masuk jembatan Winong Candiroto
Potongan peta Belanda yang dibuat di tahun 1938
Banyak misteri yang harus diungkap bila ingin membicarakan sejarah Candiroto, seperti pemberian namanya Candirata. Candi dapat diartikan sebagai bangunan suci atau bangunan pengingat atau monument. Rata memiliki makna datar atau tertimbun atau tidak berbekas atau atau penuh (dari kata merata). Sehingga Candiroto bisa bermakna monument yang tertimbun. Bisa jadi dalam pengungkapan misteri-misteri sejarah Candiroto akan ada banyak hal yang bersejarah namun tertimbun rata.
Puzzle-puzzle yang terserak dari masalalu di Candiroto, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa disusun kembali dan dijadikan sebuah kajian studi tentang perkembangan sebuah kota diujung Utara Kabupaten Temanggung. Kota yang tumbuh diera kolonialisme, yang mengubur sejarah-sejarah sebelumnya, demi mengokohkan cengkeraman kekuasaan Belanda. Namun juga menjadi kota penghidupan bagi para pendatang, para pencari kehidupan yang lebih baik.
Sumber kajian
- Buku Nederlands Oost-Indie of Beschrijving der Nederlandsche Bezittingen in Oost-Indie, disusun oleh A.J. van Der Aa, pada tahun 1851, dicetak di Amsterdam oleh J.F. Schleijer sebagai buku geografi pada era itu.
- Buku Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2017, sebagai bahan acuan tahun peristiwa di jaman Kasultanan Yogyakarta.
- Buku Toponim Kota Magelang, Direktorat Sejarah Dirjen Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018.
- Peta Karisidenan Kedu dari berbagai sumber
- Cerita tutur masyarakat yang disaring dari berbagai narasumber sebagai penguat sejarah.
Form Komentar